31 Jul 2010

Tuan Guru Datuk Nik Abdul Aziz Nik Mat



                                         Tuan Guru Datuk Nik Abdul Aziz Nik Mat di Kerdau.







Pada 31.7.2010 yang lalu  Tuan Guru Datuk Nik Abdul Aziz Nik Mat datang ke MARKAS PAS DARUL HIKMAH di Kerdau .Suasana hujan yang turun dengan lebat tidak mematahkan semangat untuk mendegar ceramah yang disampaikan oleh beliau...TAPI nak berjumpa dengan tuan guru punya pasal ,orang berpusu-pusu datang nak mendengar ceramah yang disampaikan oleh beliau .Aku berasa sangat bertuah kerana dapat bersua muka dengan pemimpin ini.
wahai umat islam marilah kita doakan suatu hari nanti sistem islam sepenuhnya dapat dilaksanakan sepenuhnya .AMIN AMIN YAROBAL ALAMIN....






 Biodata Tuan Guru
Nama : Nik Abdul Aziz bin Nik Mat
Tarikh Lahir : 1931
Tempat lahir : Kampung Pulau Melaka,Kelantan.
Pengajian : Pondok Tuanguru Hj Abbas, Besut. Universiti Deoband India. Universiti Lahore Pakistan. Universiti Al Azhar. Sarjana Muda bahasa Arab. Sarjana Perundangan Islam.










Continue Reading...

21 Jul 2010

mursyid salik dan thariqah


Sebiji buncis meronta dan terus melompat
hingga hampir melampaui bibir kuali
di mana ia tengah direbus di atas api.

“Kenapa kau lakukan ini padaku?”

Dengan sendok kayunya,
Sang Juru Masak mementungnya jatuh kembali.

“Jangan coba-coba melompat keluar.
Kau kira aku sedang menyiksamu?
Aku memberimu cita rasa!
Sehingga kau layak bersanding dengan rempah dan nasi
untuk menjadi gelora kehidupan dalam diri seseorang.

Ingatlah saat-saat kau nikmati regukan air hujan di kebun.
Saat itu ada untuk saat ini!”

Pertama, keindahan. Lalu kenikmatan,
kemudian kehidupan baru yang mendidih akan muncul.
Setelah itu, Sang Sahabat akan punya sesuatu yang enak untuk dimakan.

Pada saatnya, buncis akan berkata pada Sang Juru Masak,
“Rebuslah aku lagi. Hajar aku dengan sendok adukan,
karena aku tak bisa melakukannya sendirian.

Aku seperti gajah yang melamun menerawang
tentang taman di Hindustan yang dulu kutinggalkan,
dan tidak memperhatikan pawang pengendali arah jalan.
Engkaulah pemasakku, pawangku, jalanku menuju cita rasa kesejatian.
Aku suka caramu membuat masakan.”

“Dulu aku pun seperti engkau,
masih hijau dari atas tanah. Lalu aku direbus matang dalam waktu,
direbus matang dalam jasad. Dua rebusan yang dahsyat.

Jiwa binatang dalam diriku tumbuh kuat.
Kukendalikan dia dengan latihan,
lalu aku direbus lagi, dan direbus lagi.
Pada satu titik aku melampaui itu semua,
dan menjadi gurumu"



Seorang Mursyid yang sejati, yang menerima perintah khusus dari Allah untuk menjadi guru bagi para pejalan sufi, bisa tampil dengan berbagai macam wajah. Ada kalanya ia tampak lembut dan sabar, begitu mudah dipahami. Ada kalanya pula ia tampil dengan galak dan keras, begitu membingungkan dan sulit dipahami.

Seorang mursyid akan mendidik murid-muridnya untuk belajar mengendalikan seluruh bala tentara hawa nafsu dan syahwatnya, untuk mengenal segala macam aspek yang ada dalam diri masing-masing, dan untuk memunculkan potensi dirinya yang sesungguhnya. Potensi yang diletakkan Allah dalam qalb masing-masing manusia ketika ia dijadikan.

Dalam tahap pembersihan diri ini, hampir semua murid biasanya meronta. Tentu saja, karena hawa nafsu dalam diri kita pasti meronta jika dipisahkan dari hal-hal yang disukainya. Tapi demi memunculkan diri muridnya yang asli, maka mau tak mau, Sang Mursyid harus melakukannya. Sang Mursyid harus memaksa murid-muridnya untuk belajar mengendalikan seluruh bala tentara hawa nafsu dan syahwat (Rumi menyebutnya sebagai ‘jiwa binatang’) dalam diri masing-masing.

Inilah yang dimaksud Rumi dalam puisinya di atas, bahwa sebenarnya tugas seorang mursyid adalah ‘merebus’ murid-muridnya di atas api, demi memunculkan cita rasanya yang asli dalam diri masing-masing. Pada awalnya, biasanya buncis akan meronta dan bisa jadi, ingin lari. Pada tahap ini, mau tak mau, mursyid kadang perlu ‘mementungnya’ supaya kembali tenggelam dalam rebusan air mendidih. Tapi sekali si murid sudah merasakan manfaat bimbingan Sang Mursyid dalam perkembangan jiwanya, maka ia akan terus-menerus meminta untuk ‘direbus’ kembali.

Apakah ini berarti bahwa seorang murid harus memposisikan dirinya di hadapan gurunya seperti mayat yang dibolak-balik oleh pemandinya?

Nah, ini juga pemahaman yang perlu dikoreksi. Ada beberapa hal yang biasanya diajukan kepada para pejalan sufi yang ber-thariqat maupun yang memiliki mursyid, yang belakangan ini sering mengemuka. Berikut dua contoh representatif ketidaktepatan penilaian yang digeneralisir tersebut.

Pertama, “Saya bukan pengikut tasawuf formal. Saya tidak pernah bersumpah setia di bawah telapak tangan seorang guru spiritual untuk hanya menaati dia seorang, karena saya tidak menyukainya. Saya pikir, tidak ada pemikiran dan kesadaran sehat yang bisa terbangun jika seseorang telah memutuskan untuk berhenti bertanya, dan bersikap kritis.” 2

Kedua, “…Sekurang-kurangnya ada tiga hal penting yang sering dipersoalkan orang mengenai tarekat ini. Pertama, soal otoritas guru yang mutlak tertutup dan cenderung bisa diwariskan. Kedua, soal bai’at yang menuntut kepatuhan mutlak seorang murid kepada sang guru, seperti mayat di depan pemandinya; dan ketiga, soal keabsahan (validitas) garis silsilah guru yang diklaim setiap tarekat sampai kepada Nabi Muhammad Saw…Salah satu ciri utama tasawuf positif adalah rasionalitas. Karena itu, tasawuf positif harus menolak segala bentuk kepatuhan buta kepada seorang manusia—yang bertentangan dengan semangat Islam.” 3

Sekilas, kedua penilaian ‘kritis’ atas mursyid dan thariqah tersebut terkesan memperjuangkan keotonoman individu beserta rasionalitasnya, namun sayangnya terlalu terburu-buru melakukan generalisasi. Terlebih, kedua penilaian ‘kritis’ tersebut lebih merefleksikan prasangka semata ketimbang pembuktian melalui pengalaman menggeluti thariqah.

Posisi seperti itu tak ubahnya seperti komentator sepakbola dengan pemain sepakbola. Seorang komentator sepakbola sangat mahir dalam menganalisis kesalahan pemain, strategi yang sedang dimainkan, kegemilangan permainan, dan lain sebagainya. Namun yang lebih mengetahui dan merasakan realitasnya, bersusah-payah, pontang-panting, senantiasa waspada terhadap setiap serangan lawan, hingga akhirnya menjadi pemilik sejati pengetahuannya adalah si pemain sepakbola itu sendiri.

Sahabat Ali bin Abi Thalib r.a pernah berkata,

“Bila kau merasa cemas dan gelisah akan sesuatu, masuklah ke dalamnya, sebab ketakutan menghadapinya lebih mengganggu daripada sesuatu yang kautakuti itu sendiri.” 4

Namun, di sisi lain, bisa dimaklumi juga bahwa generalisasi bermasalah—karena ketakutan memasuki dunia thariqah secara langsung—seperti terlihat pada kedua penilaian ‘kritis’ di atas, dilandaskan pada perkembangan mutakhir berbagai thariqah klasik. Maka lahirlah penilaian yang digeneralisasi sebagai karakter sejati seluruh tarekat, sehingga luput mengamati prinsip terdasar kemursyidan dan kethariqahan.

Deviasi adalah hal yang lazim terjadi dalam perjalanan sejarah kemanusiaan. Bahkan berbagai kitab suci pun sering mengemukakan bagaimana di setiap masa senantiasa terjadi deviasi ajaran agama sepeninggal sang pembawa risalah atau nubuwahnya. Ini tak ubahnya air yang semakin keruh ketika menjauhi sumber mata airnya, sehingga praktis di hilir hanya akan ditemui air kotor yang sudah tercampur sampah.

Begitu pula halnya dengan thariqah. Ketika sang pendiri atau mursyid sejatinya meninggal, maka hanya kehendak dan izin Allah Ta‘ala semata yang bisa menjamin kemurnian dan keberlanjutan thariqah tersebut, yaitu, dengan menghadirkan mursyid sejati pengganti. Apabila Allah Ta‘ala tidak menghadirkan mursyid sejati pengganti, berarti thariqah tersebut sudah berakhir. Kemursyidan itu adalah misi hidup, dan hanya boleh dipegang oleh mereka yang telah mencapai ma‘rifat dan misi hidupnya adalah mursyid. Tidak semua orang yang telah ma‘rifat boleh serta merta menjadi mursyid. Wali Quthb (pemimpin para wali di suatu zaman) seperti Ibn ‘Arabi pun tidak menjadi mursyid thariqah.

Oleh karena itu, sebagaimana puisi Rumi tadi, seseorang tidak bisa mengangkat dirinya sendiri menjadi seorang guru spiritual sebelum ia sendiri sudah pernah, dan berhasil, melalui semua ’rebusan’, dan kemudian memperoleh pengetahuan dari Allah ta’ala bahwa misi hidupnya memang sebagai seorang mursyid.

Kemursyidan adalah sebuah tugas langsung dari Allah ta’ala (misi hidup). Oleh karena itu, jabatan kemursyidan pun tidak dapat diwariskan, sekalipun dengan landasan senioritas, keluasan pengetahuan, atau bahkan garis keturunan. Lantas, bagaimana dengan para salik yang tersisa apabila Allah Ta‘ala tidak lagi menghadirkan mursyid sejati pengganti di sebuah thariqah? Tetaplah berpegang teguh pada dua hal paling berharga yang ditinggalkan Rasulullah Muhammad Saw, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Jangan mengada-adakan mekanisme regenerasi mursyid hanya karena ikatan emosional pada thariqah sebagai lembaga, sehingga akhirnya menyerahkan ‘amr (urusan) kepada orang yang bukan ahlinya.

Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra, katanya dia mendengar Rasulullah saw bersabda: “Allah tidak menarik kembali ilmu dengan jalan mencabutnya dari qalb manusia, tetapi dengan jalan mematikan ulama. Apabila ulama telah punah, maka masyarakat akan mengangkat orang-orang bodoh menjadi pemimpin yang akan dijadikan tempat bertanya. Orang-orang bodoh ini akan berfatwa tanpa ilmu; mereka itu sesat dan menyesatkan.” (Al-Hadits)

Mursyid sejati adalah pembimbing spiritual para salik thariqah untuk memurnikan dan menyucikan diri, sebagaimana Rasulullah Saw pun adalah mursyid bagi para sahabat utama yang terpanggil untuk menempuh suluk. Mursyid sejati bertugas membantu saliknya mengenal al-haqq secara bertahap sesuai perkembangan nafs-nya, serta mengembalikannya ke penyembahan yang murni kepada Allah Ta‘ala.

Namun, para salik pun akan dihadapkan pada dilema akan ketidakpercayaan kepada mursyid yang akan menjadi racun dan penyebab kegagalannya dalam bersuluk, tetapi dia pun tidak boleh taklid buta kepada mursyidnya. Kepercayaan tidak bisa dipaksakan. Kepercayaan harus muncul secara alami melalui proses yang alami pula, yang muncul sendirinya dari qalb, sehingga mutlak diperlukan penguatan dengan ‘ilm.


Ikutilah orang yang tiada minta balasan
kepadamu; dan mereka adalah
muhtadun*. (QS Yâsîn [36]: 21)

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ‘ilm tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan fu‘ad semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya. (QS Al-Isrâ’ [17]: 36)

* Muhtaduun: orang yang telah menerima petunjuk Allah atas segala aspek
kehidupannya, dan semua tindakannya semata-mata hanya berdasarkan petunjuk
Allah ta’ala kepada dirinya.




Dalam kedua penilaian ‘kritis’ terhadap thariqah dan mursyid di atas, hubungan antara mursyid dengan saliknya dipermasalahkan secara terlampau disederhanakan, karena dianggap menuntut ketaatan seperti mayat dengan pemandinya. Sikap seperti sangat potensial untuk menghambat terbentuknya individu modern otonom. Padahal, hakikatnya tidak pernah ada manusia yang otonom. Manusia hanya terbagi menjadi dua golongan, yaitu, mereka yang diperbudak oleh Allah Ta‘ala atau diperbudak oleh selain Allah Ta‘ala (syahwat dan hawa nafsu).

Benarkah dalam thariqah berlangsung ketaklidan buta tak bersyarat dari seorang salik kepada mursyidnya? Kepatuhan seperti jenazah di hadapan pemandinya? Permasalahannya, bagaimana seorang salik bisa taklid kepada sang Mursyid, sementara perkataan sang Mursyid sendiri ternyata seringkali salah ditafsirkan?

Sebagai contoh, dalam sebuah thariqah, ketika seorang mursyid memerintahkan seorang salik untuk bersiaga menghadapi sebuah serangan sebentar lagi, si salik menafsirkan bahwa ia tengah diajari untuk bersiaga terhadap “serangan” lahiriah seperti perkelahian, sementara sang Mursyid sebenarnya tengah mengajari kesiagaan batiniah terhadap “serangan” masalah kehidupan.

Bagaimana dengan berbagai pertanyaan dalam kepala kita yang muncul dan berlalu-lalang? Setiap pertanyaan yang muncul di benak manusia itu pasti ada hak jawabannya. Itu tak ubahnya seseorang yang tengah menunggu di ruang tamu. Kemudian dari arah dapur tercium olehnya bau masakan. Bersabarlah, karena tepat pada saatnya makanan tersebut akan dihidangkan ke hadapannya.

Tidak semua pertanyaan harus terjawab saat ini juga. Bersabarlah, karena jawaban atas berbagai pertanyaan yang muncul di benak ada hak jawabannya, hanya tinggal masalah waktu saja. Namun, tak jarang manusia begitu arogan sehingga merasa bahwa rasionalitasnya pasti bisa memahami segala hal saat ini juga, dan bisa menghakimi segala perkara dengan bermodalkan ilmu yang kini dimilikinya. Seakan rasionalitas itu tidak punya kelemahan dan batasan.

Biasanya terhadap salik tipe fundamentalis rasional seperti ini, mursyid sejati akan ‘menghajar’ habis-habisan keliaran berpikirnya agar bisa fokus demi kebaikan salik itu sendiri. Hal yang paling sulit adalah menjinakan keliaran pikiran untuk fokus kepada perkara fundamental: misi hidup yang Allah Ta‘ala amanahkan kepada dirinya. Pikiran yang liar memancar kesana-kemari itu seperti lampu pijar 10 watt, hanya cocok dipakai untuk lampu tidur. Namun, apabila cahaya 10 watt tersebut difokuskan menjadi laser, maka besi pun dapat ditembusnya.

Munculnya tawaran seperti tasawuf tanpa tarekat maupun tanpa guru saat ini juga berasalan, namun bukan berarti kritiknya terhadap dunia thariqah yang digeneralisir tersebut tepat sasaran. Semangat untuk mengedepankan akal sehat atau rasionalitas dalam mengkaji tashawwuf merupakan salah satu hal yang penting. Karena Allah Ta‘ala mengaruniakan otak di tubuh manusia, maka cara mensyukurinya adalah memanfaatkannya untuk berpikir maksimal di alam terendah dari seluruh alam ciptaan-Nya, yaitu dunia. Namun, Ad-Diin (Agama) adalah perkara yang baru akan terpahami apabila seluruh bola akal manusia—otak nalar, fu‘ad (bentuk primitif lubb) dan lubb (akal nafs, orang yang telah memiliki lubb disebut sebagai ulil albab)—terbuka keseluruhannya. Sayangnya, sangat sedikit di antara manusia yang telah Allah anugerahkan kemampuan akal paripurna lahir dan batinnya seperti ini.

Di atas semuanya, bukanlah otak yang cerdas dan banyaknya bacaan yang dapat menyelamatkan manusia dari berbagai jebakan syahwat dan hawa nafsu dalam beragama, tetapi niat tulus murni mencari Allah Ta‘ala. Seorang buta huruf pun bisa Allah rahmati menjadi ‘ulil albâb dan ‘arifin (orang yang telah mencapai ma‘rifat), seperti Muhammad Raheem Bawa Muhaiyaddeen, maupun banyak sufi buta huruf lainnya, semata karena adanya niat tulus murni untuk mencari dan berserah diri kepada Allah Ta‘ala. Niat itu pulalah yang membuat Allah Ta‘ala berkenan menganugrahkan cahaya iman ke dalam qalb.

Misalnya, seseorang menyatakan bahwa karena dia memiliki kecenderungan saintifik, maka dia memerlukan penjelasan ilmiah terlebih dahulu sebelum memutuskan bersuluk. Namun, kebanyakan manusia memiliki mentalitas untuk tergesa-gesa menyimpulkan sebelum tuntas menelaah. Kecenderungan sikap saintifik itu baik, terlebih karena setiap manusia itu unik serta memiliki kebutuhan dan jalan masuk berbeda-beda. Ibaratnya, ada seekor kucing (pertanyaan) yang selalu mengeong dalam rumah (pikiran) kita, karena lapar meminta makanan (jawaban). Apabila kucing (pertanyaan) tersebut tidak diberi makanan (jawaban), maka rumah (pikiran) kita akan berisik oleh suara mengeongnya. Akibatnya, kita pun tidak bisa belajar dengan tenang. Karena itu, berilah makanan (jawaban) yang tepat untuk mengenyangkan kucing (pertanyaan) dalam rumah (pikiran) kita. Penuhilah haknya, sehingga dia bisa diam dan kita pun bisa belajar dengan tenang. Apabila makanan (jawaban) belum ditemukan, bersabarlah, saatnya pasti akan tiba.

Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu penyebab munculnya sikap alergi thariqah adalah ekses dari berbagai praktik yang dilakukan thariqah yang telah kehilangan ulamanya (baca: mata airnya). Misalnya, dahulu kala muncul sebuah thariqah. Lazimnya mereka melakukan riyadhah berkala secara bersama-sama. Kebetulan mursyid thariqah tersebut selalu memelihara kucing yang sering mengeong di malam hari karena lapar. Agar suara mengeong kucing tersebut tidak mengganggu riyadhah, maka sang mursyid memerintahkan muridnya untuk memasukkan kucing tersebut ke dalam sebuah ruangan, memberinya makan dan menguncinya. Hal itu berjalan terus selama bertahun-tahun, hingga sang mursyid meninggal.

Sepeninggal sang mursyid, para salik generasi pertama thariqah tersebut tetap memasukkan kucing peliharaan sang mursyid ke dalam sebuah ruangan, memberinya makan dan menguncinya agar tidak mengganggu riyadhah. Namun, para salik generasi kedua dari thariqah tersebut—yang tidak tahu sebab akibat dari perbuatan tersebut—mulai mengira bahwa perbuatan itu adalah sesuatu yang harus dilakukan sebelum mereka riyadhah. Maka, ketika sampai di salik generasi ketiga, muncullah semacam kewajiban baru, yaitu adanya sebuah keharusan sebelum riyadhah untuk mencari kucing yang kemudian harus dimasukkan ke dalam sebuah ruangan, kemudian memberinya makan dan menguncinya. Ketika sampai di salik generasi keempat, muncullah buku tentang makna batin dan hakikat memasukkan kucing ke dalam sebuah ruangan, memberinya makan dan menguncinya sebelum melakukan riyadhah. Dan, di salik generasi kelima hingga seterusnya, perbuatan tadi sudah menebarkan citra ketidakrasionalan dan ketidaksejalanan thariqah tersebut dengan syariat.

Dalam sejarah tashawwuf ada juga tipe sufi yang dinamakan sebagai Uwaysiyyah. Nama ini merujuk kepada seorang tokoh sezaman Rasulullah Saw. yang mengetahui ihwal beliau Saw. tetapi tidak pernah bertemu secara langsung sepanjang hidupnya. Demikian pula Rasulullah Saw., mengetahui Uways Al-Qarni tanpa pernah bertemu dengannya. Hal itu disebabkan karena Uways setibanya di Mekkah tidak bisa menunggu untuk bertemu dengan Rasulullah Saw (yang ketika itu sedang pergi) sebab ia telah berjanji kepada ibunya di kota lain untuk tidak berlama-lama meninggalkannya. Kondisi Uways berbeda dengan Salman Al-Farisi yang Allah Ta‘ala bukakan jalan untuk bisa bertemu dengan Rasulullah Saw., meskipun berasal jauh dari Persia, dan harus dua kali pindah agama sebagai proses pencariannya.

Salah satu sufi yang tergolong Uwaysiyyah adalah seorang Iran, Abu al-Hasan Kharraqani, yang pernah menyatakan: “Aku kagum pada salik-salik yang menyatakan bahwa mereka membutuhkan Mursyid ini dan itu. Kalian tahu bahwa aku tidak pernah diajari manusia manapun. Allah Ta‘ala adalah pembimbingku, kendatipun demikian, Aku menaruh respek besar pada semua Mursyid.”

Dari pernyataan seorang Uwaysiyyah tersebut bisa terlihat bahwa yang menjadi pokok persoalan bukanlah apakah seorang Mursyid diperlukan ataukah tidak, apakah perlu ikut thariqah atau tidak. Tetapi, apakah kita adalah seorang pencari Allah Ta‘ala dan berazam untuk mencari jalan kepada-Nya? Apabila ya, maka biarlah Allah Ta‘ala yang mengalirkan dan membukakan jalan hidup kita, entah itu ikut thariqah atau tidak, apakah akan dipertemukan dengan mursyid sejati di zamannya ataukah Allah Ta‘ala sendiri yang akan mengajari. Bukan dengan menyatakan terlalu dini bahwa thariqah dan Mursyid itu tidaklah diperlukan.

Ketidakberanian mengambil resiko untuk mengarungi lautan (thariqah), terlebih terburu-buru melontarkan pernyataan seolah heroik yang mengisyaratkan keengganan mencari mursyid sejati zamannya, atau senantiasa memilih berjarak ala saintis serta mengandalkan kecerdasan otak untuk bertashawwuf secara wacana, bisa dipastikan mustahil mencapai tingkatan ma‘rifat. Rumi menggambarkan hal itu sebagai berikut:


Ketika kauletakkan muatan di atas palka kapal,
usahamu itu tanpa jaminan,

Karena engkau tak tahu apakah engkau bakal tenggelam
atau selamat sampai tujuan.

Jika engkau berkata, “Aku takkan berlayar sampai aku yakin akan nasibku,
” maka engkau takkan berniaga: lantas rahasia kedua nasib ini takkan pernah
terungkap.

Saudagar yang penakut takkan meraih untung maupun rugi; bahkan sesungguhnya
ia merugi: orang harus mengambil api agar mendapat cahaya.

Karena seluruh kejadian berjalan di atas harapan, maka hanya Imanlah tujuan
terbaik harapan, karena dengan Iman memperoleh keselamatan.5




Amati kisah pencarian Salman Al-Farisi. Sebelum mengenal Tuhannya Muhammad Saw, dia adalah seorang Majusi. Kesadaran yang muncul atas kejanggalan perbuatannya sendiri untuk menjaga agar api yang disembahnya sebagai Tuhan tidak padam, membuat Salman Al-Farisi berani mengambil resiko berpindah ke agama Kristen. Setelah beberapa kali berpindah mengabdi pada beberapa pendeta, dia ditunjuki ihwal keberadaan Nabi akhir zaman. Dan pertemuannya dengan Rasullah Saw, membuat Salman Al-Farisi berani mengambil resiko kedua kalinya untuk berpindah ke agama Islam.

Thariqah adalah wadah pengajaran tashawwuf yang menuntun pemanifestasiannya melalui ujian-ujian kehidupan. Adapun yang dimaksud dengan syariat adalah Al-Islam, yaitu syariat lahir yang lebih dikenal sebagai rukun Islam. Antara syariat dan tashawwuf (keihsanan) tidak boleh dipisahkan, sedangkan thariqah—sebagai manifestasi lahiriah tashawwuf—adalah perbuatan (af’al) Rasulullah Saw dalam kehidupan dunia, yang tiada lain merupakan syariat juga. Apabila syariat adalah permulaan thariqah, maka thariqah adalah permulaan haqiqat. Namun, bukan berarti yang sebelumnya sudah tidak berlaku lagi untuk tahap berikutnya, atau bahkan ditinggalkan begitu saja. Sebagaimana dikatakan oleh Hamzah Fansuri, awal dari thariqah itu adalah taubat.



Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa: “Pergilah kamu
dengan hamba-hamba-Ku di malam hari, maka buatlah untuk mereka thariqah
yang kering dalam laut itu, kamu tak usah khawatir akan tersusul dan
tidak usah takut.” (QS Thâhâ [20]: 77)


Thariqah adalah jalan kering dalam lautan, perjalanan seseorang menuju Tuhannya di muka bumi ini tanpa terbasahi oleh lautan duniawi. Tak ubahnya seperti ikan yang hidup di laut asin, tapi tidak menjadi asin karenanya. Thariqah bukanlah berarti seseorang itu harus hidup dengan mengabaikan dunia dan miskin. Manusia tidak mungkin bisa mencapai tingkatan ma‘rifat, yaitu mengenal Tuhannya, menemukan diri sejati serta misi hidupnya, dengan cara menjauhkan diri dan tidak bergaul dengan masyarakat serta tidak berikhtiar untuk penghidupannya dan menghargai syariat. Seseorang boleh saja kaya raya, seperti Nabi Sulaiman, tapi tidak boleh mengisi hatinya dengan kecintaan terhadap dunia. Inilah yang disebut dengan zuhud.

Apakah seseorang bisa menempuh jalan suluk dengan meninggalkan syariat? Nah, ini adalah hal yang mustahil. Jalan tasawuf adalah jalan seseorang untuk mulai belajar bersyariat secara batiniyah. Dan ini hanya bisa ditempuh setelah seseorang melakukan syariat lahiriah. Mustahil mencapai tujuan tasawuf jika seseorang meninggalkan syariat lahiriyah. Ada sebuah kisah nyata yang menarik untuk kita perhatikan berikut ini.

Suatu ketika, mursyid sebuah thariqah di Jawa Barat pernah didatangi beberapa orang lelaki yang ingin bersilaturahmi. Sang Mursyid bertanya, “Dari mana kalian tahu rumah saya?” Mereka menjawab, “Kami bertanya pada orang-orang di masjid agung kota ini, kira-kira siapa ulama yang bisa kami kunjungi untuk bersilaturahmi. Mereka menunjukkan kami ke rumah Bapak.”

Ternyata para lelaki itu telah sekian bulan selalu berpindah-pindah, tinggal dari satu masjid ke masjid lainnya. Sang Mursyid bertanya, “Apa yang kalian lakukan dengan tinggal di masjid-masjid seperti itu?” Mereka menjawab, “Kami mencari Allah, pak.” Sang Mursyid kembali bertanya, “Apakah kalian punya anak dan istri?” Mereka menjawab, “Punya pak?” Dengan keheranan sang Mursyid bertanya lagi, “Lantas bagaimana dengan anak istri kalian? Siapa yang merawat dan menafkahinya?” Mereka menjawab, “Kami telah tawakalkan kepada Allah, pak.”

Maka sang Mursyid berkata, “Bermimpi kalian ini. Bermimpi kalau kalian ingin mencari Allah sementara syariat lahir kalian abaikan. Secara syariat kalian diwajibkan untuk menafkahi istri, mendidik dan merawat anak, dan berbagai kewajiban lainnya sebagai ayah dan suami yang seharusnya ditunaikan. Kalian itu bermimpi kalau mencari Allah Ta‘ala, sementara syariat lahir diabaikan.”

Adapun thariqah itu sendiri mempunyai mempunyai tiga tujuan. Dua tujuan yang pertama adalah mendapatkan dua rahmat dari Allah.





Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan berimanlah
kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian,
dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan
dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS Al-Hadid [57]: 28)



Tujuan pertama thariqah adalah mendapatkan rahmat pertama, yaitu cahaya iman dan kesucian bayi seperti pertama kali lahir. Suatu keadaan ketika manusia belum lagi menumpuk dosa. Keadaan ini dinamakan juga dengan al-muththaharûn.

Tujuan kedua dari thariqah adalah mendapatkan rahmat kedua, yaitu berupa Ruhul Quds yang akan mengingatkan manusia ihwal misi hidupnya, mengingatkan ihwal perjanjian primordial dengan Allah Ta‘ala (QS Al-A‘raf [7]: 172) dan membimbingnya dalam menjalankan misi hidup tersebut. Tahap inilah yang dinamakan sebagai ma‘rifat, tahap ketika seseorang setelah mengenal nafs-nya, maka akan mengenal Rabb-nya (tingkatan syuhada).

Sedang tujuan ketiga dari thariqah adalah menjadi hamba-Nya yang didekatkan (qarib). Fungsi mursyid adalah membimbing saliknya hingga sampai pada tujuan kedua dari thariqah, yaitu menjadi syuhada. Setelah itu, yang akan berperan sebagai mursyid adalah Ruhul Quds-nya sendiri untuk ber-dharma sebagai shiddiqiin.

Thariqah merupakan perjalanan kembali kepada Allah untuk menemukan diri sejati dan misi hidup tiap-tiap individu. Namun, perjalanan kembali kepada Allah mewajibkan berbagai ujian berat yang harus dilalui, hingga nafs manusia ditempa menjadi kuat. Tak ubahnya, api yang membakar logam hingga merah membara agar dapat dibentuk menjadi sesuatu yang berguna. Dengan tempaan ujian tersebut, sang hamba akan siap menerima amanah berupa misi hidup dalam posisi percaya dan dipercaya.

Melalui jalan suluk, seorang murid juga akan belajar untuk memperoleh ketenangan. Berbeda dengan anggapan umum bahwa ketenangan adalah hidup menjadi tentram dan tenang, ketenangan dalam tashawwuf adalah tidak goyahnya hati dalam menghadapi setiap permasalahan yang datang, menyambut masalah dan ujian sebagai jubah keagungan. Ujian itu hukumnya wajib bagi para salik yang berjalan mencari Allah Ta‘ala.

Ketenangan hidup yang semu, sebagaimana yang diinginkan banyak orang awam dalam ber-tashawwuf, bagi para sufi lebih merupakan isyarat bahwa Allah Ta‘ala tidak lagi peduli. Ketenangan dan hidup adem ayem, lancar dan tenang tanpa masalah merupakan isyarat bahwa Allah membiarkan seseorang hanya mendapatkan bagian di dunia saja, namun tidak di akhirat nanti. Ketenangan hidup yang semu ini justru membuat seseorang menjadi tidak lagi memiliki stimulus untuk merenung, tidak merasa membutuhkan Allah, dan statis.

Sayangnya, saat ini banyak sekali ungkapan yang menyatakan bahwa kegunaan untuk mempelajari tashawwuf adalah untuk mendapatkan ketenangan dan terapi bagi berbagai masalah kehidupan sehari-hari. Padahal, sejak dulu tashawwuf adalah jalan yang mewajibkan adanya ujian dalam setiap detik kehidupan. Para pengikutnya akan disucikan dan dibersihkan.



Suatu ketika, saat sedang makan siang, seorang salik bertanya kepada
mursyidnya, “Pak, apakah tetangga di sekitar ini tahu bahwa Bapak
adalah mursyid?” Beliau menjawab, “Ya, mereka tahu. Bahkan banyak
di antara mereka yang datang kepada saya.” Kemudian salik itu bertanya
kembali, “Lalu mengapa mereka tidak berguru pada Bapak?” Beliau menjawab,
“Karena saya mengatakan kepada mereka, bahwa apabila kalian mau menjadi
murid-murid saya maka kalian harus siap-siap dibersihkan. Harta-harta yang
kalian dapatkan dengan cara yang tidak halal akan dihilangkan dari kalian.
Ternyata mereka pun kemudian malah ketakutan dan mundur dengan sendirinya.”


Setelah membaca pracetak buku ‘Guru Sejati dan Muridnya’, melalui pemaparannya dalam buku ini, pembaca bisa melihat bagaimana Allah Ta‘ala membuat seorang sufi buta huruf dari pedalaman Sri Lanka memiliki ilmu sedalam ini. Hal ini menunjukkan bahwa rasionalitas hanyalah salah satu jalan saja—dan bukan yang teristimewa—untuk langkah awal mempelajari dunia tashawwuf. Selain itu, ini yang paling menarik, bahwa setelah Bawa Muhaiyaddeen hijrah ke Amerika, kebanyakan muridnya justru adalah orang kulit putih, yang secara umum dicap sebagai masyarakat paling rasional di muka bumi ini.




Continue Reading...

ayat mengharap wajah-Nya




INGAT ungkapan Imam An-Nifari berikut ini?

“Siapa yang beramal demi pahala, niscaya akan letih dengan harapan.
Siapa yang beramal karena takut siksa, niscaya akan letih dengan
prasangka baik. Siapa yang beramal demi Wajah-Nya, niscaya tiada
letih baginya.”

(Imam An-Nifari)

Beramal demi ‘wajah-Nya’. Sebenarnya ‘beramal demi wajah-Nya’ cukup jelas ayatnya di Qur’an. Ungkapan sufi besar tersebut kongruen dengan, salah satunya, ayat berikut—yang sayangnya tersamar oleh interpretasi bahasa Indonesianya.

Kalau kita perhatikan Al-Quran Surat Al-Lail [92] : 20, biasanya interpretasi bahasa Indonesianya dituliskan sebagai berikut:

“Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha Tinggi.”

Sementara kalau kita perhatikan teks arabnya,





“Illabtighaa’a wajhi rabbihil a’la”

Ada kata ‘wajhi Rabbihi’ (wajah Rabb-nya) di ayat tersebut. Terjemahan literalnya, tanpa interpretasi, sebenarnya adalah,

“Kecuali yang mengharap wajah Rabb-nya yang Mahatinggi.”







“(Dan) sungguh, akan meraih keridhaan”

(interpretasi Depag: ‘dan kelak dia sungguh-sungguh akan
meraih kepuasan‘) .”


Siapa itu, mereka yang ‘mengejar/mencari wajah Rabb-nya’ itu? Kita sama-sama buka Qur’an surah 92 saja, lah ya?
Continue Reading...

20 Jul 2010

Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad



Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad bin Abdullah bin Thaha Abdullah bin Umar bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ahmad bin Abu Bakar Abu Thahir Al-Alawi asy-Syarif al-Huseini lahir di Bandar Qaidun, Hadramaut, pada 14 Syawal 1301 H ( bertepatan dengan 7 Agustus 1884 M ). Sejak kecil beliau memang sudah bercita-cita menjadi ulama. Itu sebabnya beliau sangat teguh dan rajin menuntut ilmu dan berguru kepada para ulama besar, sehingga mampu menguasai berbagai ilmu naqli ( berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah ) dan aqli ( berdasarkan akal ). Beliau bahkan juga mampu melakukan istinbat ( proses penggalian hukum islam ) dan ijtihad ( penggalian hukum syari'at yang belum tertera dalam Al-Qur'an dan Sunnah ) yang sangat cermat.

Selain mengaji kepada keluarganya, semasa remaja di Hadramaut beliau juga berguru kepada para ulama seperti Habib Ahmad bin Hasan Al-Aththas, Habib Thahir bin Umar Al-Haddad dan Habib Muhammad bin Thahir Al-Haddad. Beliau juga mendalami ilmu hadits dengan menamatkan kitab-kitabKutubus Sittah, Riyadush Sholihin, Bulughul Maram, Jami'ush Shagir. Beliau juga mendalami kitab Ad-Dhawabil Jaliyah fil Asanid al-'Aliyah, karya Syekh Al-'Allamah al-Musnid Shafiuddin Ahmad bin Muhammad al-Qasyasy al-Madani.

Disamping itu, beliau juga berguru kepada Sayyid Alwi Al-Haddad, Habib Thahir bin Abi Bakar Al-Haddad , masih banyak guru yang mewariskan ilmu kepadanya, seperti Al-Mu'ammar Sirajuddin Umar bin Utsman bin Muhammad Ba Utsman Al-Amudi ash-Shiddiq al-Bakari dan Sayyid Abdur Rahman bin Sulaiman Al-Ahdal.

Seperti para ulama salaf yang lain, sejak masih sangat muda kecerdasan Habib Alwi sudah tampak. Pada usia 12 tahun, misalnya, beliau sudah menghatamkan kitab Ihya Ulumuddin, karya Imam Ghazali. Bahkan pada usia 17 tahun, beliau sudah mampu mengajar ilmu tafsir, hadits, fiqih, usul fiqih, tarikh, falaq, nahwu, sharaf, balaghah, filsafat dan tasawuf.

Termasyhur sebagai ulama yang kaya dengan ilmu agama, dalam setiap majlis Habib Alwi dikenal sebagai pembicara yang mampu menjelaskan masalah agama dengan berbagai dalil aqli dan naqli. Bukan hanya itu, beliau juga termasyhur sebagai penulis kajian agama di berbagai surat kabar, meliputi berbagai masalah agama, fatwa, sejarah, kemasyarakatan, bahkan juga politik.kitab keislamanan yang disusunnya, antara lain, Al-Qaul al-Fash fi Ma li Bani hasyim wa Quraisy wal Arab min al-Fadhl ( 2 jilid ), Durus as-Sirah an-Nabawiyah ( 2 jilid kecil ), Mukhtashar aqd al-Aali ( ringkasan karya sayyid Idrus bin Umar Al-Habsyi ), I'anah an-Nahidh fil ilm al-Faraidh, Majmu'ah min Ulum al-Falaq, Ath-Thabaqat al-Alawiyyah. Belum lagi sebuah kitab berisi kumpulan 12.000 fatwa dan dua jilid kitab tentang hukum nikah dalam bahasa Melayu.

Habib Alwi lebih dikenal sebagai guru besar para ulama. Selain mengajar di Jakarta, beliau pernah mengajar di Bogor dan dikota-kota lain di Jawa. Muridnya yang kemudian terkenal sebagai ulama besar, antara lain, Habib Alwi bin Syekh Bilfaqih, Habib Alwi bin Abbas Al-Maliki, Habib Salim Jindan, Habib abu bakar Al-Habsyi, Habib muhammad bin Ahmadv Al-Haddad, Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih, Habib Husein bin Abdullah bin Husein Al-Aththas, Syekh Hasan Muhammad Al-Masyath al-Maliki, KH. Abdullah Nuh, KH.Abdullah Syafi'i.

Di Jakarta beliau mengajar di Jami'at Kheir ( berdiri 1905 ) , selain mengajar, beliau juga merangkap sebagai wakil Mudir, sementara yang bertindak sebagai mudir adalah Sayyid Umar bin Saqaf As-Saqaf. Kala itu Jamia'at Kheir juga mengundang sejumlah guru dari berbagai negeri, seperti Ustadz Hasyimi ( Tunisia ), Syekh Ahmad bin Muhammad As-Surkati ( Sudan ), Syekh Muhammad Thayyib Al-Maghribi ( Maroko ), Syekh Muhammad Abdul Hamod ( Makkah ). Beliau juga sebagai salah seorang pendiri ar-Rabithah al-Alawiyah.

Selain mengajar di Jakarta, beliau juga mengajar di Bogor dan kota-kota lain di Jawa, bahkan kemudian berdakwah ke berbagai negeri, seperti Somalia, Kenya, Arab Daudi, Malaysia. Belakangan beliau diangkat sebagai Mufti di Kesultanan Johor, Malaysia ( 1934-1961 ), menggantikan ( Alm.) Dato Sayyid Abdul qadir bin Mohsen Al-Aththas. Selama menjadi Mufti, beliau sering berdakwah ke berbagai pelosok kampung dan masjid.

Pada 14 November 1962 ( 1382 H ) Habib Alwi bin Thahir bin Abdullah Al-Haddad wafat. Jenazahnya di kebumikan di kompleks Pemakaman Mahmudiah, Johor Bahru, Malaysia.

Datuk Saiyid Alwi bin Thahir al-Haddad bin Abdullah bin Thaha Abdullah bin Umar bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ahmad bin Abi Bakar Abu Thahir al-Alawi asy-Syarif al-Huseini. Sampai nasabnya kepada Saidina Ali bin Abi Thalib yang kahwin dengan Saidatina Fatimah binti Nabi Muhammad s.a.w. Saiyid Alwi bin Thahir al-Haddad lahir di Bandar Qaidun, Hadhramaut, Yaman pada 14 Syawal 1301 H/7 Ogos 1884 M.

Dalam Tasynif al-Asma' oleh Abi Sulaiman Mahmud Sa'id bin Muhammad Mamduh menyebut bahawa Saiyid 'Alwi bin Thahir al-Haddad meninggal dunia di Jakarta, ibu kota Indonesia, pada bulan Jamadilakhir 1382 H (hlm. 383). Nik Yusri Musa dalam kertas kerja berjudul Polemik Datuk Sayed bin Tahir al-Haddad dan A. Hassan Bandung: Gambaran Pemikiran Fiqh Nusantara menyebut bahawa Saiyid Alwi bin Thahir al-Haddad meninggal dunia pada 14 November 1962 M dan dikebumikan di Tanah Perkuburan Islam Mahmudiah Johor Bahru (lihat Prosiding Nadwah Ulama Nusantara III, 2005 M/1427 H, hlm. 538).

Ditinjau dari segi tarikh wafat kedua-dua maklumat di atas adalah sepakat kerana 14 November 1962 M adalah bersamaan dengan 17 Jamadilakhir 1382 H. Tetapi tempat wafat masih perlu ditinjau kerana Tasynif al-Asma' hanya menyebut Saiyid Alwi bin Thahir al-Haddad wafat di Jakarta dan tidak menyebut di mana dikebumikan.

Dalam kertas kerja Nik Yusri Musa pula dinyatakan bahawa beliau dikebumikan di Johor Bahru, tetapi tidak menyebutkan di mana sebenarnya Saiyid Alwi bin Thahir al-Haddad wafat. Apakah memang benar beliau wafat di Jakarta kemudian jenazahnya dibawa ke Johor Baharu juga tidak dijelaskan. Sekiranya benar beliau wafat di Jakarta ada kemungkinan dikebumikan di Jakarta ataupun Bogor kerana Saiyid Alwi bin Thahir al-Haddad sebelum ke Johor memang tinggal di sana. Murid beliau pun memang ramai di Jakarta dan Bogor.

Seperkara lagi ketika tarikh wafat Saiyid Alwi bin Thahir al-Haddad, 14 November 1962 M itu, urusan penerbangan dari Jakarta ke Singapura mungkin sedikit terganggu kerana detik-detik awal konfrontasi Indonesia-Malaysia, sedangkan Singapura ketika itu dalam Malaysia. Oleh itu sejarah yang demikian perlu diselidiki dengan lebih kemas lagi.

Dalam kertas kerja Nik Yusri Musa juga dinyatakan bahawa Saiyid Alwi bin Thahir al-Haddad bertugas sebagai Mufti Kerajaan Negeri Johor dari tahun 1934 - 1961 (Ibid, hlm. 538). Maklumat ini berbeza pendapat dengan tulisan Othman bin Ishak dalam buku Fatwa Dalam Perundangan Islam yang menyebut bahawa Datuk Saiyid Alwi bin Thahir al-Haddad menjadi Mufti Johor tahun 1934 - 1941, Datuk Haji Hasan bin Haji Yunus menjadi Mufti Johor 1941 - 1947 dan Datuk Haji Abd. Jalil Hasan menjadi Mufti Johor 1961 - 1964 (lihat terbitan Fajar Bakti, 1981, hlm. 31).

Mufti Johor yang berikutnya ialah Datuk Haji Abd. Rahim bin Haji Yunus tahun 1965 - 1977. Sesudahnya ialah Datuk Saiyid Alwi bin Abdullah al-Haddad. Mengenai nama ini hendaklah diperhatikan bahawa pada hujung nama sama-sama menggunakan 'al-Haddad'. Jadi bererti ada dua orang keturunan 'al-Haddad' yang pernah menjadi Mufti Kerajaan Johor.

PENDIDIKAN

Guru-gurunya di Hadhramaut ialah Habib Ahmad bin al-Hasan al-Attas al-Alawi, Habib Thahir bin Umar al-Haddad, dan Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad. Banyak bidang ilmu tradisi yang beliau peroleh daripada keluarganya sendiri yang berketurunan Nabi Muhammad s.a.w..

Sungguhpun demikian yang lebih diutamakan ialah tentang hadis dan ilmu-ilmu yang dibangsakan kepada hadis itu. Berkali-kali Saiyid Alwi al-Haddad menamatkan kitab as-Sittah, Riyadh ash-Shalihin, Bulugh al-Maram, Jami' ash-Shaghir. Sehubungan dengan hadis Saiyid Alwi al-Haddad juga mempelajari kitab-kitab mengenai sanad hadis di antara kitab-kitab itu ialah ad-Dhawabidh al-Jaliyah fi al-Asanid al-'Aliyah karya Syeikh al-Allamah al-Musnid Syamsuddin Abdullah bin Fathi al-Farghali al-Hamisyi. Demikian juga kitab ats-tsabat yang berjudul as-Samth al-Majid karya Syeikh al-Allamah al-Musnid Shafiyuddin Ahmad bin Muhammad al-Qasyasy al-Madani. Saiyid Alwi al-Haddad telah berhasil memperoleh ilmu dan ijazah daripada para gurunya serta dengan sanad-sanad yang bersambung.

Selain guru tersebut, Saiyid Alwi al-Haddad juga memperoleh ilmu daripada ayah saudaranya Imam Habib Abdullah bin Thaha al-Haddad, juga dengan Habib Thahir bin Abi Bakri al-Haddad. Guru-guru beliau yang lain pula ialah al-Mu'ammar Sirajuddin Umar bin Utsman bin Muhammad Ba Utsman al-Amudi ash-Shiddiqi al-Bakari. Saiyid Alwi al-Haddad juga sempat mendengar riwayat hadis daripada al-Allamah as-Saiyid 'Abdur Rahman bin Sulaiman al-Ahdal yang wafat tahun 1250 H/1834 M.

Diriwayatkan bahawa Saiyid Alwi al-Haddad ialah seorang yang sangat cergas. Sedikit saja belajar namun pencapaian pengetahuan terlalu banyak. Ketika berumur 12 tahun Saiyid Alwi al-Haddad tamat belajar Ihya' 'Ulum ad-Din karya Imam al-Ghazali. Dalam usia 17 tahun beliau telah mulai mengajar dan mengajar kitab yang besar-besar dan ilmu yang berat-berat dalam usia 20 tahun. Ilmu-ilmu yang beliau ajar dalam usia itu ialah ilmu tafsir, hadis, fiqh, usul fiqh, tarikh, falak, nahu, sharaf, balaghah, falsafah dan tasawuf.

PEMIKIRAN

Saya mulai mengikuti tulisan-tulisan Saiyid Alwi al-Haddad sejak tahun 1966, iaitu yang dimuat dalam Warta Jabatan Agama Johor. Salah satu karya Saiyid Alwi al-Haddad bagi saya yang cukup menarik ialah sebuah karya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang diberi judul Sejarah Islam di Timur Jauh. Saya ringkaskan saja bahawa karya Saiyid Alwi al-Haddad yang telah diketahui sebagai berikut:
1. Anwar al-Quran al- Mahiyah li Talamat Mutanabi' Qadyani (dua jilid).
2. Al-Qaul al-Fashl fi ma li al-Arab wa Bani Hasyim min al-Fadhal. Kitab ini terdiri daripada dua jilid. Kandungannya merupakan sanggahan terhadap fahaman pembaharuan Islam yang dibawa oleh Syeikh Ahmad bin Muhammad as-Surkati as-Sudani.
3. Al-Khulashah al-Wafiyah fi al-Asanid al-'Aliyah. Kitab ini menggunakan nama keseluruhan guru Saiyid Alwi al-Haddad tentang qiraat dan ijazah.
4. 'Iqd al-Yaqut fi Tarikh Hadhramaut.
5. Kitab as-Sirah an-Nabawiyah asy-Syarifah.
6. Dalil Khaidh fi 'Ilm al-Faraidh.
7. Thabaqat al-'Alawiyin (sepuluh jilid).
8. Mu'jam asy-Syuyukh.
9. 'Uqud al-Almas bi Manaqib al-Habib Ahmad bin Hasan al-'Athas.

Sekiranya kita sempat membaca keseluruhan karya Saiyid Alwi al-Haddad yang tersebut di atas, dapat disimpulkan bahawa sangat luas pengetahuan yang beliau bahaskan. Saiyid Alwi al-Haddad diakui sebagai seorang tokoh besar dalam bidang sejarah, ahli dalam bidang ilmu rijal al-hadis.

Lebih khusus lagi sangat mahir tentang cabang-cabang keturunan 'al-Alawiyin' atau keturunan Nabi Muhammad s.a.w. Setahu saya memang tidak ramai ulama yang berkemampuan membicarakan perkara ini selain Saiyid Alwi al-Haddad. Boleh dikatakan tidak ada ulama dunia Melayu menulisnya secara lengkap. Sekiranya ada juga ia dilakukan oleh orang Arab keturunan Nabi Muhammad s.a.w. seperti yang pernah dilakukan Saiyid Utsman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya al-Alawi, Mufti Betawi.

Saiyid Alwi al-Haddad ialah seorang ulama yang berpendirian keras dan tegas mempertahankan hukum syarak. Gaya berhujah dan penulisan banyak persamaan dengan yang pernah dilakukan oleh Saiyid Utsman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya al-Alawi, Mufti Betawi. Saiyid Alwi al-Haddad selain menyanggah pendapat dan pegangan Syeikh Ahmad bin Muhammad as-Surkati yang lebih keras dibantahnya ialah A. Hassan bin Ahmad Bandung.

Bukan Saiyid Alwi al-Haddad saja yang menolak pegangan A. Hassan bin Ahmad Bandung tetapi perkara yang sama juga pernah dilakukan oleh Haji Abu Bakar bin Haji Hasan Muar. Sanggahan Haji Abu Bakar Muar terhadap A. Hassan Bandung berjudul Majlis Uraian Muar-Johor. Di bawahnya dijelaskan judul, "Pada menjawab dan membatalkan Al-Fatwa pengarang Persatuan Islam Bandung yang mengatakan babi itu najis dimakan bukan najis disentuh dan mulut anjing pun belum tentu najisnya." Sebenarnya apabila kita meninjau sejarah pergolakan Kaum Tua dan Kaum Muda dalam tahun 1930-an itu dapat disimpulkan bahawa semua golongan 'Kaum Tua' menolak pemikiran A. Hassan Bandung itu khususnya Kerajaan Johor yang muftinya ketika itu Saiyid Alwi al-Haddad yang mengharamkan karya-karya A. Hassan Bandung di Johor.

MURID-MURID

Saiyid Alwi al-Haddad mengembara ke pelbagai negara, antaranya Somalia, Kenya, Mekah, Indonesia, Malaysia dan lain-lain. Di negara-negara yang pernah beliau singgah, beliau berdakwah dan mengajar.

Di Jakarta, Saiyid Alwi al-Haddad pernah mengajar di Madrasah Jam'iyah al-Khair yang diasaskan oleh keturunan 'Saiyid' di Indonesia. Madrasah Jam'iyah al-Khair ialah sekolah Islam yang mengikut sistem pendidikan moden yang pertama di Indonesia, Saiyid Alwi al-Haddad pula termasuk salah seorang guru yang pertama sekolah itu diasaskan. Bahkan beliau ialah Wakil Mudir sekolah itu.

Mudirnya ialah Saiyid Umar bin Saqaf as-Saqaf. Para guru didatangkan dari pelbagai negara. Antara mereka ialah Ustaz Hasyimi yang berasal dari Tunis, Syeikh Ahmad bin Muhammad as-Surkati yang berasal dari Sudan (mengajar di Madrasah Jam'iyah al-Khair tahun 1911 - 1914), Syeikh Muhammad Thaiyib al-Maghribi yang berasal dari Maghribi, Syeikh Muhammad Abdul Hamid yang berasal dari Mekah.

Selain mengajar di Jakarta beliau juga pernah mengajar di Bogor dan tempat-tempat lain di Jawa. Muridnya sangat ramai. Antara tokoh dan ulama besar yang pernah menjadi murid Saiyid Alwi al-Haddad ialah:
1. Saiyid Alwi bin Syaikh Bilfaqih al-Alawi.
2. Saiyid Alwi bin Abbas al-Maliki.
3. Saiyid Salim Aali Jindan.
4. Saiyid Abu Bakar al-Habsyi
5. Saiyid Muhammad bin Ahmad al-Haddad.
6. Saiyid Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih.
7. Saiyid Husein bin Abdullah bin Husein al-Attas.
8. Syeikh Hasan Muhammad al-Masyath al-Makki.
9. Kiyai Haji Abdullah bin Nuh.
Continue Reading...

14 Jul 2010

muaturun

muaturun mp3

Hattan - Rendang Tak Berbuah.mp3
Maher Zain - Insyaallah.mp3
Maher Zain - Always be there.mp3
Metropolitan - Fikirkan Boleh.mp3
UNIC - Hanya Tuhan Yang Tahu.mp3
Nasyid Aeman feat Bazli UNIC DI PONDOK KECIL.mp3
UNIC - Balqis.mp3
UNIC - Ayat Al-Quran.mp3
UNIC - Ainul Mardhiah.mp3
UNIC - Satu Tekad.mp3
UNIC - Jalinan.mp3
UNIC - Mahligai Kasih.mp3
M. Nasir bersama Sprider - Mentera Semerah Padi.mp3
M.Nasir - Tanya Sama Itu Hud Hud.mp3
M. Nasir - Di Balik Cermin Mimpi.mp3
M Nasir - Bonda.mp3
M Nasir - Mustika.mp3
Malique feat. M.Nasir - Mentera Beradu.mp3
Khabar_pada_kawan-m.nasir-ebiet_g.ade.mp3
Mawi ft. M Nasir - Lagu Jiwa Lagu Cinta.mp3
M. Nasir & Siti Nurhaliza - Bagaikan Sakti.mp3
M.Nasir - Kias Fansuri.mp3
Black Dog Bone - Khayalan.mp3
Black Dog Bone - Si Gadis Ayu.mp3
Black Dog Bone - 16 Lagu Hari Raya Aidilfitri - Cahaya Aidil Fitri.mp3
Black Dog Bone - Dulu Dan Sekarang.mp3
Black Dog Bone - Ku Cari Penawar .MP3
Black Dog Bone - Penghibur Dan Pemberitahu.mp3
Black Dog Bone - Kasihanilah Sayangilah.mp3
Black Dog Bone - Senandung Anak Seni.mp3
Black Dog Bone - Adikku Sayang.mp3
01 - Il Divo - Unbreak my heart (Regresa a mi).mp3
02 - Il Divo - Mama.mp3
Il Divo - Everytime i look at you.mp3
12 - Il Divo - My way (A mi manera).mp3
Il Divo - Hasta Mi Final.mp3
Il Divo - Heroe.mp3
Il Divo - Unchained Melody (Senza Catene).mp3
Il Divo - Hallelujah.mp3
IL DIVO - I believe in you (il divo and celine dion).mp3
Gorillaz - Feel Good Inc..mp3
Gorillaz - Tomorrow Comes Today.mp3
Gorillaz - 19-2000.mp3
Gorillaz - Stylo.mp3
Gorillaz - Clint Eastwood.mp3
gorillaz-dare.mp3
Gorillaz - El MAnana.mp3
Gorillaz - Kids With Guns.mp3



muaturun ceramah


TG Nik Aziz - Ganjaran Allah.mp3
TG Nik Aziz - Asal Usul Sifat 20.mp3
TG Nik Aziz - Al Fatihah Bhg1.mp3
TG Nik Aziz - Al Fatihah Bhg2.mp3
TG Nik Aziz - Al Fatihah Bhg3.mp3
Ceramah Nabi Isa VS Dajjal-Ust Abu Haidar.mp3
Ceramah Islam~Ikhsan Tanjung - Kebusukan Yahudi.mp3
Ceramah islam~oleh Ust.KH.Zainudin MZ tentang arak dan judi.mp3
Ceramah Islam~Tafsir Almishbah SURAT AL-ALA oleh Ust.Quraish Shihab.mp3
Ceramah Sunnah-Perjalanan Roh Ke Alam Kubur Dgn Amal Yg Ikhlas-04.10.08-Sat.mp3
Continue Reading...

kisah hidup syiekh qadir al-jilani





part 1







part 2





part 3







part 4









part 5











part 6






part 7







part 8







part 9












part 10







part 11

Continue Reading...

2012 ?!


PERTAMA dikatakan bahwa pada tanggal tersebut, matahari akan menutupi bumi dari hubungan garis lurus dengan Galaksi kita. Posisi matahari yang sedemikian, akan memutus "tali pusar" bumi dengan pusat Galaksi, fenomena yang hanya akan terjadi 26.000 tahun sekali dan akan menyebabkan bencana musim dingin berkepanjangan, atau mungkin bahkan adanya lidah matahari yang menjadi sangat panjang dan menjilat atmosfir atau bahkan permukaan bumi dan membakar semua kehidupan


KEDUA dikatakan pula bahwa pada tanggal tersebut akan terjadi pembalikan titik magnet bumi, entah secara mendadak atau secara perlahan, tapi yang jelas, utara akan menjadi selatan, dan sebaliknya, matahari akan terbit dari barat dan seterusnya. Intinya, bencana akan timbul karena perubahan mendadak yang menyebabkan gravitasi dan medan magnet berantakan, angin dan gempa bumi, aliran air juga akan terpengaruh dan berbagai bencana alam akan terjadi serempak

KETIGA diramalkan matahari akan menjadi sangat luar biasa aktif dan menyebabkan panas luar biasa yang mencapai bumi, apalagi karena atmosfir kita yang menipis dan berlubang, hanya akan menyebabkan pemanasan secara radikal, yang selanjutnya bisa Anda saksikan seperti di film The Day After Tommorow


KEEMPAT salah seorang fisikawan di UC Berkeley mengatakan bahwa 65 juta tahun lalu, adanya tumbukan asteroid raksasa yang memicu berbagai reaksi dalam bumi yang mengakibatkan dinosaurus musnah dalam waktu yang sangat singkat dan bisa dikatakan hampir bersamaan. Menurut sumber fisikawan yang tidak diketahui namanya tadi, dengan siklus perhitungan ilmiah (yang tidak diketahui juga prosesnya) kejadian yang sama akan terjadi dalam waktu singkat, kapan? ya 2012 tadi... O yah.. ada teori lain yang mendukung, adalah adanya teori Planet Nibiru yang adalah asteroid ini.

KELIMA para ahli Geofisika dari Rusia menyebutkan bahwa adanya medan awan energi antar bintang. Medan awan energi inilah yang merusak keseimbangan energi dalam susunan tata surya berbagai bintang yang ada, dan pada tahun 2012 sampai 2020, tata surya kita ini yang akan dilanda oleh awan energi perusak ini. Jika Anda bayangkan, kira-kira mirip dengan kejadian di film Fantastic 4: the Rise of the Silver Surver.



PANDANGAN SPIRITUALITAS


BANTAHAN TEORI 2012
Menurut para ahli yang membantah teori ini mengatakan: “Ramalan2 itu benar2 nggak ada dasarnya sama sekali, apalagi di kebudayaan Maya yang kita kenal,” kata Stephen Houston, profesor antropologi di Brown University, yang adalah juga ahli tulisan hieroglif Maya. “Penggambaran bangsa maya tidak pernah menyebut2 hal ini.” katanya. Bangsa maya melihat bahwa tanggal tersebut adalah tanggal kalender mereka, tapi kemudian mengulang kalender mereka kembali tanpa adanya bencana sama sekali.

Sementara mengenai teori planet Nibiru, bantahan yang ada dari seorang ahli di NASA mengatakan "Kami aja sampai sekarang masih berdebat soal Pluto, tiba2 ada orang yang mengatakan adanya planet Nibiru, dari mana lagi sih? Lucu sekali, kami sampai sekarang belum bisa menemukan planet lain, sudah ada yang menemukan planet Nibiru pula, tanpa ada konfirmasi dari mana berita itu muncul."

So, terserah anda percaya atau tidak ???
Continue Reading...

13 Jul 2010

Syeikh Abu Bakar Awang kembali ke rahmatullah


ALOR SETAR, 23 Nov: Penasihat Persatuan Ulamak Kedah (PUK), Syeikh Abu Bakar Awang Al-Baghdadi menghembuskan nafas terakhir pada jam 11 pagi tadi di Hospital Sutanah Bahiyah, dekat sini lantaran sakit tua.

Al-Marhum Syeikh Abu Bakar,84, semasa hayatnya bersama Al-Marhum Syeikh Niamat Yusoff mengasaskan Maahad Tarbiyah Islamiah Derang (MTID) seawal 1980. Beliau menjadi Syeikhul Perkampungan Maahad Derang sehingga akhir hayatnya.

Sebelum itu, kedua tokoh terkenal ini berkhidmat di Maahad Mahmud, bersama-sama dengan bekas Presiden PAS, Al-Marhum Dato’ Haji Fadzil Mohd Nor. Ustaz Abu Bakar adalah pelajar awal Pondok Tuan Guru Haji Yahya Al-Junaid di Batu 16, Padang Lumat, Kedah.

(Gambar: Abu Bakar dengan anak-anak muridnya)

Beliau menyambung pengajian agama di sebuah universiti di Baghdad, Iraq. Empat tahun kemudian datang pula bekas Naib Presiden PAS, Ustaz Hassan Shukri dan Ahli Majlis Syura Ulama PAS, Ustaz Hashim Jasin belajar di tempat sama.

Sebaik kembali dari Iraq, beliau yang berasal dari Perlis telah diamanahkan menjadi calon PAS dan bertanding dua kali di Dun Kayang, Perlis.

Ketika dihubungi di hospital, Mudir MTID, Syeikh Abdul Majid Abu Bakar An-Nadwi berkata, jenazah akan disolat dan dikebumikan di perkuburan Masjid Raudhatus-Solehin, Derang bersebelahan sahabat karibnya, Ustaz Niamat.

Ustaz Abu Bakar yang mempunyai hubungan darah dengan tokoh ulamak negara, Dato’ Dr Haron Din sangat mahir dalam bidang Feqah Muamalah dan menulis beberapa buku ilmiah mengenainya. Beliau meninggalkan empat cahayamata terdiri daripada dua lelaki dan dua perempuan.

Ketika dihubungi Ustaz Hashim yang juga Pesuruhjaya PAS Perlis mengucapkan takziah mewakili PAS negeri itu dan menyifatkan pemergian Ustaz Abu Bakar sebagai satu kehilangan besar kepada agama dan negara.

Sementara itu, Setiausaha Kerja Dewan Ulamak PAS Kedah, Ustaz Azri Ahmad mengesahkan, Ustaz Abu Bakar menjadi Timbalan Ketua dewan itu dari 1995 hingga 2000 di bawah Al-Marhum Ustaz Azahari Abdul Razak.

“Dewan Ulamak PAS Kedah juga merakamkan ucapan takziah atas pemergian tokoh ulamak ini yang berkorban jiwa raga di atas jalan perjuangan kebenaran, semoga Allah SWT mencucuri Rahmat-Nya ke atas rohnya,” ujar Azri.
Continue Reading...

6 Jul 2010

PANGKAT PARA WALI


Pangkat2 wali ada beberapa nama.


1. Qutub ...1 orang.

2. Ghauth/Mukhtarain...2 orang.

3. Autad...ada empat orang.

4. Ahkyar...7 orang.

5. Abdal....40 orang.

6. Nujaba'...70 orang.

7. Nuqaba'....300 orang.

8. At takhya'...70,000 ada seorang setiap daerah.

setiap seorang yang mati akan diganti dengan seorang....
Continue Reading...

KASYAF

APA ITU KASYAF?



Kasyaf ertinya dianugerahi mata hati lalu terbuka hijab antara makhluk dengan Tuhannya dan dapat melihat alam ghaib.

Kasyaf yg difahami oleh para nujum, bomoh dan dukun bukanlah termasuk dalam perbahasan ini kerana kasyaf yg mereka perolehi hanya terhad setakat pendang tembus ke alam jin sahaja. Tidak pada alam malaikat, alam Jabarut dan alam Lahut. Keterhadan ini boleh dilihat bila ramainya dukun, bomoh dan pawang masih melakukan maksiat terhadap Allah (lakukan perkara haram, makruh dan syubhat). Ini kerana mereka masih tidak dapat melihat malaikat Raqib & Atid (pencatat amalan baik & buruk) yang sentiasa sibuk menjalankan tugas mengawasi gerak-geri kita.

Kasyaf yang dikehendaki di sini ialah kasyaf yg dapat memimpin manusia mengenal Allah Ta'ala. Terbuka hijab dengan dapat melihat syurga atau neraka mengingatkan si hamba agar rajin beribadah, solat di awal waktu, menjauhi aktiviti sia-sia dan berhati-hati dalam perkataan. Inilah yg dikatakan Rasulullah s.a.w. "Jika kamu tahu apa yg aku tahu nescaya kamu akan sedikit ketawa dan banyak menangis".

Kasyaf dianugerahi Allah Ta'ala apabila hati telah bersih dari titik-titik hitam syirik. Kasyaf juga diperolehi dengan memperbanyakkan berlapar dan mengosongkan perut dengan berpuasa. Ia juga dimulai hasil dari bersusah payah (mujahadah) melazimi amalan suluk dan sentiasa membulatkan tumpuan hati kepada Allah.

Apabila kasyaf dianugerahi Allah, maka iman seseorang berada di paras selamat kerana dia akan dapat kekuatan menjaga diri sendiri walau keseorangan, walau di atas awan, di tengah lautan, di celah hutan tebal, walau digodai gadis rupawan. Inilah yg dimaksudkan "ilmu yakin".

Kasyaf juga akan membuatkan seseorang dapat membaca hati dan bisikan orang lain. Walaubagaimanapun, kebolehan ini digunakan oleh penerimanya untuk mengenang kebesaran Allah dan bukan untuk tujuan bersuka-suka dan memperbodohkan orang lain. Inilah rahsia bagi mengelakkan diperbudakkan oleh musuh Islam.

Watak superman dapat pandang tembus dinding adalah dicuri dari isu ini.

Wallahu A'lam. Hanya semata-mata limpah kurnia dan rahmat dari Allah Ta'ala.


HURAIAN KASYAF



Setiap makhluk yang diciptakan Tuhan dilengkapkan-Nya dengan fitrah. Fitrah menerbitkan bakat dan keupayaan semulajadi yang membolehkan setiap kejadian itu berfungsi menurut kejadiannya. Fitrah matahari mengheret matahari untuk bergerak pada satu landasan sambil mengeluarkan cahaya yang mengandungi tenaga yang diperlukan oleh kejadian di bumi. Haiwan, tumbuh-tumbuhan, galian dan lain-lain semuanya mempunyai fitrah masing-masing dan setiap satunya bergerak menurut peraturan fitrahnya. Di antara semua kejadian, manusia dikurniakan fitrah yang paling sempurna kerana manusia berkewajipan memerintah dan mentadbir sekalian makhluk. Malaikat sendiri tunduk kepada manusia. Malaikat yang menguruskan bidang penglihatan tidak menghalang manusia menggunakan penglihatan matanya sekalipun yang dilihat olehnya itu diharamkan oleh Allah s.w.t. Malaikat yang menjaga nyawa tidak mencabut nyawa itu sekalipun manusia melakukan kejahatan dan kedurhakaan kepada Allah s.w.t.

Fitrah manusia merupakan sebaik-baik persediaan dalam melaksanakan tugas-tugas kehambaan kepada Allah s.w.t. Melakukan ketaatan kepada Allah s.w.t dan menguruskan kehidupan di bumi merupakan kewajipan manusia. Dalam melaksanakan hal yang demikian itu fitrah manusia dikurniakan sesuatu yang sangat luar biasa iaitu keupayaan untuk membuat pilihan. Hanya manusia dan jin yang memiliki keupayaan memilih. Makhluk lain tidak diberikan bakat tersebut. Dalam membuat pilihan fitrah manusia boleh menggunakan bakat-bakatnya iaitu fikiran, ilham dan kasyaf.

Melalui bakat berfikir manusia boleh membuat pilihan dalam menguruskan kehidupan lahiriah mereka. Kekuatan fikiran yang ada dengan manusia mengangkat manusia kepada darjat yang tinggi. Mereka mampu menguasai daratan, lautan dan udara. Mereka mampu mengambil manfaat daripada anasir alam yang ada di sekeliling mereka. Sempadan bagi kekuatan fikiran adalah jangkauan pancaindera dan logik. Apa yang tidak mampu dijangkau oleh pancaindera akan menimbulkan kesulitan kepada fikiran dan apa yang tidak termasuk dalam bidang logik akan mengelirukan fikiran.

Bidang yang tidak dapat diterokai oleh fikiran mampu diterokai oleh ilham. Fikiran sangat mahir dalam menyusun sesuatu yang bersangkutan dengan kebendaan. Kebendaan yang menjadi bidang fikiran ini bertindak sebagai hijab kepada bidang ilham. Pengaruh dan tarikan kebendaan menjadi tembok yang menghalang manusia daripada memperolehi ilham.

Pengaruh dan tarikan kebendaan tertuju kepada hati. Jika hati dapat keluar daripada kekuasaan dan ikatan kebendaan hati akan mampu mengeluarkan sinar cahayanya untuk memperluaskan bidang yang dapat diterokai oleh akal fikiran melalui cetusan ilham. Akal fikiran yang dibantu oleh ilham dapat keluar dari bidang logik dan sempadan kebendaan. Manusia dapat menerima kewujudan kuasa ghaib yang menguasai anasir alam yang nyata.

Terdapat dua golongan manusia yang menguasai bidang ilham. Mereka adalah ahli falsafah dan ahli sufi. Ahli falsafah yang menggunakan kekuatan diri sendiri hanya mampu mengambil ilham pada bahagian permukaan sementara ahli sufi berkeupayaan untuk menyelam ke dasar lautan ilham. Walaupun berbeza darjat ilham tetapi oleh kerana ia masih di dalam satu daerah, maka terdapat tolak-ansur di antara sufi yang di dalam daerah ilham dan ahli falsafah yang juga di dalam daerah ilham. Sufi yang begini beranggapan ahli falsafah adalah juga ahli sufi. Begitu juga anggapan ahli falsafah terhadap ahli sufi. Fahaman ahli falsafah dan fahaman ahli sufi tahap ilham banyak persamaan. Sufi pada tahap ini boleh bekerjasama dengan ahli falsafah dalam mengwujudkan kepercayaan atau agama sejagat. Agama sejagat ini mengambil nilai-nilai murni kemanusiaan sebagai peraturan hidup dan keikhlasan sebagai kehambaan kepada Tuhan. Setiap individu diperlukan mempratikkan nilai-nilai murni kemanusiaan dan bebas melakukan keikhlasan menurut kemampuan dan bakat yang ada dengannya dalam menyatakan khidmatnya kepada Tuhan. Golongan ini sangat mengasihi manusia dan sangat bertolak ansur dengan sesama manusia. Mereka menganggap semua agama adalah baik dan benar. Mereka berfahaman semua agama menyembah Tuhan yang sama walaupun caranya berbeza. Mereka tidak mengutuk perbuatan memyembah Tuhan dengan menggunakan perantaraan seperti patung-patung. Kebanyakan agama dalam dunia hari ini telah diolah semula oleh golongan sufi-falsafah. Maksud sufi di sini termasuklah ahli agama yang selain Islam yang mengamalkan bidang kerohanian dan melatih diri dalam bidang tersebut. Dari kalangan merekalah muncul orang-orang yang membina tempat patung-patung dalam tempat-tempat ibadat agama Nasrani dan Yahudi. Orang yang beragama menyembah berhala tidak berasa janggal apabila mereka memasuki rumah ibadat orang Nasrani dan Yahudi. Pengaruh yang demikian juga menjalar ke dalam masyarakat Islam. Orang-orang Islam yang berjiwa falsafah gemar membina sesuatu yang menonjol dan tersergam di dalam masjid-masjid. Jika penyembah berhala melihat kaum Muslimin sedang sujud mungkin mereka menyangka kaum Muslimin sujud kepada benda yang menonjol dan tersergam itu.

Sufi seterusnya masuk ke dalam bidang kasyaf. Penyaksian mata hati dan pengalaman rasa merupakan bidang kasyaf. Hati menyaksikan dan merasakan suasana ghaib dan hal-hal yang berhubung dengan ketuhanan. Walaupun sufi menyaksikan dan merasakan hal ketuhanan tetapi ia bukanlah Tuhan. Apa yang dibukakan kepada sufi itu adalah ibarat kunci yang membuka pintu makrifat untuk sufi mengenali Tuhan. Kasyaf tahap tertinggi hanyalah pengalaman rasa tanpa penyaksian tentang hal ketuhanan itu. Pengalaman rasa atau zauk tanpa penyaksian membawa sufi bermakrifat tentang Allah s.w.t yang Maha Esa, tiada sesuatu yang menyerupai-Nya. Makrifat cara begini menanamkan kefahaman yang tidak mampu dihuraikan.

Penghuraian yang lengkap tentang Allah s.w.t hanya terdapat dalam wahyu. Apa yang diterangkan oleh wahyu tentang Allah s.w.t dapat difahami oleh seseorang manusia menurut tahap pemikiran, ilham dan kasyafnya. Orang yang mempunyai ke tiga-tiga bakat-bakat fitrah itu secara sempurna akan mengenal Allah s.w.t dengan sempurna. Wahyu menerangi kasyaf, kasyaf menerangi ilham dan ilham menerangi fikiran. Nur wahyu yang menerangi kasyaf, ilham dan fikiran itu membuka simpulan pada lidah sehingga lidah boleh berucap dengan fasih tentang Allah s.w.t, menurut kadar yang Dia izinkan.

Apabila sekalian bakat-bakat fitrah itu sudah disinari oleh nur wahyu baharulah fitrah kemanusiaan itu melonjak kepada fitrah Muslim. Manusia yang fitrahnya belum mencapai tahap fitrah Muslim, walaupun pintar menggunakan akal namun, dia masih belum bersesuaian dengan kehendak Allah s.w.t. Daya nilai fitrah manusia banyak bersesuaian dengan daya nilai fitrah Muslim dalam bidang akhlak tetapi tidak dalam bidang ketuhanan. Kebenaran yang sejati berada pada fitrah Muslim. Apa yang dinilaikan baik oleh fitrah manusia jika bercanggah dengan penilaian fitrah Muslim, maka fitrah manusia mesti akur dengan kebenaran fitrah Muslim. Orang Islam yang bijak sekalipun tidak akan dapat melihat hikmah di sebalik suruhan dan tegahan agama, sekiranya fitrahnya tidak naik kepada tahap fitrah Muslim atau pun jika akalnya enggan tunduk kepada kebenaran yang dinyatakan oleh wahyu. Apabila fitrah manusia mencapai tahap fitrah Muslim, akan ujudlah penyerahan yang sejati kepada Allah s.w.t, tanpa hujah dan tanpa takwil. Dia akan tunduk kepada peraturan Allah s.w.t yang dibawa oleh Rasul-Nya. Dalam jiwanya akan lahir keghairahan beragama. Dia akan cemburu jika Allah s.w.t, Rasulullah s.a.w, al-Quran dan agamanya dipersendakan apa lagi kalau dikhianati.

Semua bakat-bakat fitrah mestilah menjadi Muslim. Akal fikiran menjadi Muslim, ilham menjadi Muslim dan kasyaf menjadi Muslim. Bila semua bakat itu sudah menjadi Muslim, akan bercahayalah Roh Islam seseorang itu. Roh Islam akan hanya mengeluarkan yang Muslim, tidak ada percanggahan dengan Islam. Roh Islam yang paling sempurna adalah Roh Nabi Muhammad s.a.w. Jibrail a.s membacakan wahyu dan Roh Islam Nabi Muhammad s.a.w mentafsirkannya. Apa yang baginda s.a.w tafsirkan menepati apa yang wahyu maksudkan, tanpa sedikitpun percanggahan. Jika mahu melihat al-Quran dalam rupa manusia, maka Nabi Muhammad s.a.w adalah ‘al-Quran’ yang hidup, berkata-kata dan bergerak dalam daerah kehidupan manusia. Selain Nabi Muhammad s.a.w darjat persamaan dengan wahyu itu bertingkat-tingkat menurut darjat akal, ilham dan kasyaf masing-masing.

Fikiran, ilham dan kasyaf sufi bukanlah satu sumber ilmu yang menyamai wahyu atau pun bebas daripada wahyu. Bakat-bakat tersebut hanyalah alat untuk mentafsirkan wahyu yang disampaikan oleh Rasulullah s.a.w mengenai sesuatu perkara yang diimani. Bakat-bakat tersebut walaupun boleh digunakan sebagai alat bagi menterjemah wahyu tetapi ia bukanlah secara sempurna. Ia berkedudukan seperti ijtihad para mujtahid yang mungkin benar dan mungkin silap. Dalam pembinaan hukum dan fatwa yang mengenai orang ramai, kedudukan ijtihad ahli mujtahid lebih kuat daripada ilham dan kasyaf sufi.

Ilham dan kasyaf sufi lebih bersifat peribadi, berguna untuk sufi itu sendiri dalam menentukan arah tindakannya. Kesan mabuk yang berlaku pada jalan kewalian sufi sukar terpisah daripada seseorang sufi itu dan kesan tersebut boleh mempengaruhi ilham dan kasyafnya. Apa yang diperolehi oleh sufi yang dipengaruhi oleh mabuk mungkin tidak menepati kebenaran yang asli. Sufi tersebut mungkin mengeluarkan pendapat yang kurang benar dan meninggalkan yang lebih benar. Oleh yang demikian kebenaran ilham dan kasyaf sufi itu mesti diuji dengan kebenaran al-Quran dan as-Sunah. Kedudukan seseorang sufi itu diukur dengan melihat sejauh mana ilham dan kasyafnya bersesuaian dengan ajaran al-Quran dan as-Sunah. Sufi yang telah mencapai tahap kewalian peringkat tertinggi, yang telah terlepas daripada kesan mabuk, fana dan bersatu dengan Tuhan, tidak bercanggah dengan al-Quran dan as-Sunah.

Al-Quran dan Hadis telah memberi penjelasan yang lengkap mengenai perkara-perkara yang bersangkutan dengan akidah. Perkara yang sudah cukup terang dan jelas ini tidak boleh digugat oleh apa sahaja, termasuklah fahaman, ilham dan kasyaf sufi. Jika terjadi percanggahan di antara ucapan ahli sufi dengan kenyataan al-Quran dan as-Sunah mengenai perkara akidah, ia mestilah ditolak dan perkataan al-Quran dan as-Sunah itu yang wajib diimani. Ucapan sufi yang demikian hendaklah dianggapkan sebagai ucapan yang lahir daripada suasana hati yang dipengaruhi oleh mabuk dan fana dan sufi berkenaan belum lagi menghabiskan perjalanannya. Jika perkataan sufi menyokong kenyataan al-Quran dan as-Sunah, maka perkataan tersebut hendaklah dibenarkan. Dalam memahami maksud al-Quran dan as-Sunah, aliran Ahli Sunah wal Jamaah hendaklah diikuti.

Ada perkara-perkara yang al-Quran dan al-Hadis hanya memberi maklumat secara sepintas lalu atau pun tidak memberi maklumat sedikitpun. Perkara-perkara berkenaan termasuklah soal-soal syurga, neraka, bumi, alam maya, malaikat, jin, makhluk rohani dan lain-lain. Ahli sufi banyak memperkatakan soal-soal yang demikian berdasarkan ilham dan kasyaf mereka, tanpa sokongan nas yang sahih. Dalam soal ini orang ramai tidak dituntut untuk mengimani perkataan sufi. Ilham dan kasyaf sufi boleh jadi benar dan boleh jadi juga tidak benar. Nabi-nabi diperakui oleh Allah s.w.t sebagai maksum, dijamin terpelihara daripada gangguan syaitan dan tidak terjadi kesalahan pada ilham dan kasyaf mereka. Apa juga kekeliruan yang timbul akibat gangguan syaitan diperbetulkan dengan segera dan kebenaran perkataan Nabi-nabi ditetapkan. Jaminan yang demikian tidak diberi kepada golongan yang bukan Nabi. Namun begitu, perkataan sufi mengenai soal-soal yang tidak bersangkutan dengan akidah itu boleh dijadikan iktibar dan mempercayainya tidak menjadi kesalahan. Melalui perkataan mereka orang-orang yang ingin memahami perkara-perkara tersebut mendapat sedikit pemahaman yang boleh dikembangkan melalui kekuatan akal fikiran.

Sufi memperolehi maklumat melalui kasyaf. Kadang-kadang kasyaf berlaku kepada sufi dalam bentuk ibarat atau pembukaan secara umum tanpa perincian. Kasyaf yang demikian perlu ditafsirkan. Biasa terjadi tafsiran yang dibuat oleh sufi itu tidak menepati gambaran atau ibarat yang dibukakan kepadanya Bila sufi menerima berita secara umum maka tafsiran secara umum juga yang diberikannya. Maklumat yang diperolehi secara umum, tanpa perincian, tidak dapat menceritakan sesuatu perkara dengan tepat. Sufi juga mungkin mendapat maklumat mengenai sesuatu kejadian dan maklumat tersebut datangnya daripada sumber takdir yang akan berubah, sedangkan perubahan yang akan berlaku tidak dibukakan kepadanya. Allah s.w.t berfirman:






Apa sahaja ayat keterangan yang Kami mansukhkan (batalkan) atau yang Kami tinggalkan (atau tangguhkan), Kami datangkan ganti yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah engkau mengetahui bahawasanya Allah Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu? ( Ayat 106 : Surah al-Baqarah )





Ayat di atas memberitahukan tentang takdir yang di dalam perbatasan yang boleh berubah dengan kehendak dan perintah Allah s.w.t.
Untuk mereka sahajalah kebahagiaan yang menggembirakan di dunia dan di akhirat; tidak ada (sebarang) perubahan pada kalimat (janji-janji) Allah; yang demikian itulah kejayaan yang besar. ( Ayat 64 : Surah Yunus )

Ayat di atas ini pula memberitahukan tentang daerah takdir yang tidak akan berubah kerana Allah s.w.t telah menetapkannya. Kasyaf seorang sufi mungkin hanya sampai kepada daerah takdir yang mungkin berubah, tidak sampai kepada daerah takdir yang tetap. Oleh yang demikian apa yang disaksikannya mungkin berlaku dan mungkin juga tidak berlaku.

Perlu juga diketahui bahawa seseorang sufi melalui peningkatan kerohanian secara sedikit demi sedikit, bukan sekaligus. Suasana kerohanian atau makam mempengaruhi fahaman dan pegangan sufi. Seorang sufi boleh mengeluarkan beberapa pendapat yang berbeza mengenai perkara yang sama. Pendapatnya di awal perjalanan, pertengahan dan di akhir perjalanan mungkin bertentangan di antara satu sama lain. Pendapatnya yang paling benar adalah pendapat yang diberikannya setelah dia kembali kepada kesedaran sepenuhnya dan berkamil dengan syariat sepenuhnya.

Sufi yang masih di dalam perjalanan menemui beberapa fahaman yang bercanggah dengan prinsip syariat. Di antara yang demikian adalah konsep tauhid af’al, tauhid sifat dan tauhid wujud. Konsep tauhid yang demikian membawa Tuhan ke dalam perbatasan alam dan mengadakan persamaan di antara Tuhan dengan makhluk. Sufi yang sedang dikuasai oleh suasana kerohanian yang demikian menafikan perbuatan dirinya, sifatnya dan wujudnya. Semuanya diisbatkan kepada Allah s.w.t. Muncullah ungkapan seperti: “Tiada yang berbuat melainkan Allah. Tiada yang hidup melainkan Allah. Tiada yang maujud melainkan Allah” dan lain-lain ungkapan yang seumpamanya. Ungkapan yang paling popular dikaitkan dengan kesufian adalah: “Ana al-Haq!” Ada golongan yang beranggapan kononnya sufi yang belum mengucapkan “Ana al-Haq” belum lagi mencapai makam yang paling tinggi. Golongan sufi ikutan menggunakan ungkapan yang demikian bagi memukau kesedaran diri sendiri dengan cara mengulangi ucapannya sebanyak mungkin dan menghayati maknanya sehingga terpahat kepercayaan yang demikian dalam jiwa mereka. Golongan yang mengikut secara membuta tuli inilah yang menyebarkan kesesatan, berselindung di sebalik perkataan sufi yang sedang mabuk.

Manusia yang masih ada keupayaan untuk membuat pilihan, berfikir dan merasa, mestilah faham keadaan sufi yang fitrah mereka menerima kejutan alam ghaib sehingga keupayaannya untuk membuat pilihan, berfikir dan merasa hilang. Sufi yang demikian dikatakan berada di dalam jazbah. Orang yang berada dalam jazbah adalah umpama orang yang keluar ke laut menaiki perahu kecil. Bila dipukul gelombang dia menjadi mabuk dan meracau. Setelah dia sampai ke tengah laut, ombak sudah tenang, mabuknya berkurangan dan akhirnya dia kembali normal. Bila dia sudah sedar dia tidak meracau lagi. Pengalaman jazbah berguna kepada sufi berkenaan kerana pengalaman yang demikian menanggalkan sifat-sifat yang keji dari hatinya dan sifat ikhlas menjadi sebati dengannya. Pengalaman jazbah itu juga berguna kepada guru yang menjadi pembimbing kerana dengannya guru dapat mengetahui suasana dan stesen kerohanian muridnya. Ia juga menjadi tanda bahawa murid berkenaan mempunyai harapan untuk menjadi cemerlang kesudahannya. Guru yang arif akan membimbing muridnya supaya melepasi peringkat-peringkat zauk sehingga sampai kepada penghujung jalan yang tenang dan damai. Murid yang sudah melepasi peringkat jazbah dan kembali kepada kesedaran kemanusiaan biasa akan menyedari akan kekeliruan yang muncul dalam fahamannya sepanjang perjalanannya. Dia bertaubat daripada pegangan yang lalu. Kini dia menyaksikan satu kebenaran sahaja iaitu kebenaran kehambaan kepada Allah s.w.t. Manusia dan jin diciptakan untuk mengabdikan diri kepada-Nya, bukan untuk bersatu dengan perbuatan, sifat atau wujud-Nya.

Fahaman yang keluar dari ilham dan kasyaf sufi sekiranya menyalahi syariat wajiblah ditolak. Jika orang yang mengetahui tentangnya ada kebolehan, ucapan latah sufi haruslah diterjemahkan menurut stesen kerohanian sufi berkenaan dan penjelasan harus diberi kepada orang ramai agar latah sufi tidak disalahertikan. Sufi yang mengeluarkan ucapan latah ketika dalam jazbah haruslah dimaafkan, walaupun ucapannya menyalahi syariat. Harus diingat bahawa sufi tidak terlepas sepenuhnya daripada suasana mabuk sebelum dia sampai kepada makam siddiqiyat. Semua makam di bawah daripada makam siddiqiyat tidak terlepas daripada pengaruh mabuk sedikit atau banyak. Kesimpulannya pendapat sufi yang bertentangan dengan syariat wajib ditolak tetapi peribadi sufi itu sendiri tidak boleh dikutuk kerana dia dikuasai oleh mabuk.
Continue Reading...
 

Popular Posts

singaperang Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template